Kendalikan Amarah, Kendalikan Diri
Setiap orang pasti pernah marah, meskipun, cara, kualitas dan intensitas amarah tiap orang tidaklah sama. Jika ditinjau dari sumbernya, pada umumnya amarah melibatkan hukum aksi dan reaksi. Kita marah karena menurut penglihatan, pendengaran atau perasaan kita, ada hal tertentu – yang berdasarkan ukuran kita – tidak beres dan kita tidak dapat mengakomodir situasi, kondisi, sikap, sifat, pemikiran, perkataan dan atau tindakan tersebut. Intinya adalah: kita marah lantaran orang lain yang membuat kita marah. Kalau orang lain tidak melakukan sesuatu yang tidak kita sukai, maka kita pasti tidak akan marah.Ini ada benarnya. Tapi jangan lupa, satu problem bisa mendapat tanggapan yang beragam, ada orang menghadapinya dengan biasa-biasa saja tetapi ada juga yang reaktif (emosional dan temperamental).
Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena spiritualitas tiap orang tidaklah sama. Semakin matang spiritualitas seseorang, semakin ia mampu menghadapi persoalan dengan rasional dan hati yang lapang.
Ada orang yang tidak bermasalah dengan kesehatan ketika mengkonsumsi garam dalam jumlah tertentu, tapi ada yang mengalami gangguan hipertensi. Karena metabolisme tubuh mereka berbeda, yang satu normal, selebihnya abnormal. Ketika metabolisme mental seseorang bermasalah, maka ia akan menjadikan setiap masalah orang lain – yang terkait dengan dirinya – sebagai pencetus kemarahan. Jadi, alasan yang lain adalah masalah kematangan kepribadian yang pasti akan menentukan respons seseorang terhadap sebuah masalah.
Kemungkinan yang lainnya adalah pembawaan seseorang. Seorang bertemperamen sanguin akan jauh lebih mudah meledak daripada orang plegmatik.
Dan alasan selebihnya adalah, seumpama menggunakan kaca mata berwarna biru, maka apapun yang dilihat oleh kita akan bernuansa warna biru. Tetapi penyumbang terbesar dari semua itu adalah ketidaksanggupan mengelola emosi dan menguasai diri sendiri. Marah yang obyektif memang dipicu oleh pihak lain. Akan tetapi, jika kita selalu atau terlalu sering marah dan apapun bisa membangkitkan amarah kita, maka ada kemungkinan masalah bukan terletak pada orang lain. Mari kita berpikir dengan lebih jernih lagi, apakah benar orang lain yang membuat kita marah, atau jangan-jangan penyebabnya justru adalah diri kita sendiri. Dengan kata lain, diri kitalah bagian dan sumber dari masalah itu. Lima alasan di atas sudah cukup untuk membenarkan kebenaran ini. Ibarat luka di lengan kita, siapa saja yang menyentuhnya – sengaja atau tidak sengaja – pasti akan menimbulkan rasa nyeri, apalagi yang menyentuh adalah musuh atau orang yang menjengkelkan kita.
Sebenarnya ada banyak “luka” yang merupakan faktor internal yang bisa menjadi penyumbang kemarahan seperti: kepahitan, luka batin, dendam, ketegangan, depresi dan tumpukan kekecewaan (terutama dengan orang yang memicu terjadinya konflik).
Memang pada umumnya marah dipicu oleh faktor eksternal. Dan yang menjadi masalah adalah bahwa kita semua mempunyai kecenderungan yang sangat mudah untuk menemukan kesalahan, kekurangan dan masalah orang lain. Sayangnya tidak semua orang bisa dengan leluasa melihat dan menyadari kekurangan diri sendiri. Benarlah apa yang Tuhan Yesus katakan, “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?” (Mat 7:3)
Secara implisit, ungkapan tersebut menunjukkan adanya kondisi “tidak sadar diri”, bagaimana bisa kita begitu mudah menemukan kesalahan orang lain yang sangat kecil sementara kesalahan kita jauh lebih besar, kita abaikan? Balok dan selumbar mempunyai ukuran yang berbeda. Seharusnya, ketika kita menyadari bahwa kesalahan kita lebih besar daripada orang lain, maka kesalahan orang lain tidak akan membuat kita memberikan reaksi yang tidak proporsional.
Kedua, adanya pandangan yang tidak normal yaitu mata yang terhalang oleh balok yang negatif, maka segala yang dilihat akan selalu negatif. Selama ini, jika kita selalu melihat apapun yang dikatakan dan diperbuat oleh orang lain adalah salah. Bercermin pada ayat tersebut, lagi-lagi masalah justru ada pada kita.
Ketiga, saat kita sedang menghadapi masalah yang bersumber dari internal kita, kita cenderung akan bias melihat masalah orang lain.
Keempat, kalau memang ada selumbar di mata sesama kita, selama kita melihat masalah orang lain semata-mata sebagai masalah orang itu, dan tidak pernah menganggap dan merasakan masalah dia adalah juga masalah kita, maka masalah orang itu akan menjadi pemicu temperamental kita.
Bagaimana kita tidak akan selalu emosional, jika masalah internal kita belum terselesaikan, sementara itu, kita cenderung melihat selumbar orang lain dan ditambah lagi ketidakmampuan kita untuk menguasai diri kita? Kita bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan kehidupan ini, jika semua orang melakukan tepat seperti yang kita lakukan. Sementara saya mempunyai banyak masalah internal, dan Anda – juga memiliki masalah internal – cenderung melihat masalah saya sebagai sumber masalah, maka masalah tidak akan berkesudahan. Dan kepada siapapun kita akan konflik; membenci atau pun dibenci.
Jadi, selain adanya pemicu dari eksternal, penyebab paling dominan dari amarah adalah karena bawaan dan pembawaan kita. Dan untuk mengantisipasinya, sejatinya adalah dimulai dengan diri kita terlebih dahulu, yaitu membereskan spiritualitas, belajar menjadi pribadi yang dewasa, menyehatkan metabolisme mental, belajar manajemen konflik, sembuhkan “luka”, berhenti melihat segala sesuatu dengan kaca mata keliru yang membuat kita melihat seisi dunia ini tampak suram, serta belajar memiliki otonomi diri yang kokoh.
This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.